First Ride Honda CBR250RR SP Quick Shifter (Part-2): Layak Menjadi Pemimpin Kelas
Permukaan atas piston dinaikkan. Memadatkan rasio kompresi jadi 12:1, dari sebelumnya 11,5:1. Lantas bawahnya justru dipapas demi mengurangi gesekan saat piston mengalun. Area sisi langkah juga dicoak agar membuang tekanan ke samping. Dan beberapa racikan baru lagi. Atas itulah tenaga Honda CBR250RR SP terdongkrak ke angka 40,2 Hp/13.000 rpm dan torsi 25 Nm/11.000 rpm. Seperti apa terjemahannya saat dipacu habis?
Setelah puas berkeliling – menguji handling pada tikungan lebar dan sempit, pemandu mengajak ke sisi lain dari cabang-cabang trek. Agaknya sudah cukup memahami karakter motor. Sekaligus percaya diri karena pengendalian terasa optimal. Total control terbukti tak sekadar jargon.
Dalam kesempatan ini pula, quick shifter harusnya menyajikan pertunjukkan maksimal. Sebab saat pelan-pelan - apalagi di putaran rendah (Bawah 5.000 rpm) - saya tak terpuaskan dengan perangkat baru ini. Kerjanya setengah-setengah saat upshift. Masih sangat terasa entakan dari gigi pertama ke dua meski sudah aktif.
Terik matahari makin menyorot. Tapi hal itu jadi tak terasa, sesaat setelah ditunjukkan trek lurus 1,2 km. Tentunya mereka memandu dulu, berjalan santai untuk memahami bagaimana kondisinya. Dan sekaligus, Honda menyarankan untuk mengambil titik pengereman di papan 300 meter. Lantaran sesudah itu langsung masuk tikungan lebar dan dikagetkan tikungan sangat tajam.
Baiklah. Rasanya pemetaan sudah cukup. Dipersilakanlah rombongan kami untuk melesat sendiri-sendiri. Tak ada batas apapun, dalam lurusan itu justru diharapkan bisa menyentuh top speed yang diklaim sampai 172 kpj.
Titik start ada di posisi setengah tikungan lebar. Lumayan tricky. Karena harus berakselerasi maksimal dengan keadaan motor agak miring. Satu per satu rider pun dilepas dan akhirnya tiba giliran saya.
Masuk gigi satu, putaran mesin saya tahan di sekitar 9.000 rpm. Perlahan tuas kopling dilepas dan selongsong diputar habis. Dengan cepat indikator pemindah gigi berkedip, menyentuh angka 13.000 rpm. Apa yang saya keluhkan sebelumnya hilang sama sekali. Pergantian gear begitu lembut, tak terasa ada entakan.
Torsi juga mengisi. Lepas 9.000 rpm saja sudah terasa bertenaga. Dan memang ada kenaikan 1,7 Nm dari seri sebelum, memuncak di 11.000 rpm. Dentuman dua piston pun lantang meneriakkan tenaga 40,2 Hp di rpm tinggi. Menyenangkan.
Masuk gigi tiga, quick shifter makin optimal lagi. Saya benar-benar meliburkan jemari kiri. Termasuk menahan terus selongsong gas sampai habis – tanpa harus menutup tiap pindah gigi. Biar komputer saja bekerja mengartikan apa yang saya mau. Canggih.
Tak terasa tiba di papan 300 meter dan saya pun menurunkan kecepatan. Sama sekali belum maksimal. Baru mencapai 160-an kpj di gigi lima, tapi muncul keraguan jika terlambat melakukan pengereman. Ya, sebetulnya masih terlihat panjang. Tapi saya bukan ahli sirkuit, karena itu memilih untuk mengurangi risiko yang tak diinginkan terjadi.
Namun pada percobaan pertama tadi, lagi-lagi saya terkesan dengan proses down shift yang begitu halus. Berikut kinerja auto blipper-nya. Bayangkan. Dari kecepatan segitu, putaran mesin maksimal, menginjak pedal gigi sama sekali tak menakutkan.
Jujur saja, saya tak menyentuh rem di titik terkait. Karena tau masih ada sisa agak panjang. Sepenuhnya pengurangan kecepatan hasil dari menutup gas dan menurunkan gigi berkali-kali. Efek engine brake begitu terminimalisir. Roda belakang ajek. Tak terasa ada gejala selip atau mengentak. Slipper clutch baru perlu diakui sangat membantu proses deselerasi.
Lanjut masuk tikungan besar, serta putaran sempit. Mengarah ke titik awal lagi untuk mencoba kesempatan ke dua. Di sini sebetulnya bukan buat ngebut, mengingat agak sempit. Tapi lurusan terlalu menggoda. Selongsong gas saya putar lagi habis-habisan, masih di mode yang sama: Sport Plus.
Karena tak sepanjang jarak lurusan awal, sama saja. Menyentuh 160 kpj saya harus cepat mengerem. Sebab pada area ini tikungannya lebih tajam. Bahaya jika melebihi itu.
Satu hal saya sadari, saat raungan mesin dua silinder dari muffler standar kembali berteriak. Suaranya khas. Lembut, tapi tidak mengecewakan. Mungkin jika dipasang knalpot aftermarket full system makin gahar lagi. Tapi pun kalau takut berisik, bawaannya sudah enak didengar.
Hingga akhirnya tiba lagi di titik start pengujian top speed. Ini menjadi kesempatan ke dua, sekaligus terakhir. Saya beranikan diri untuk menahan rpm lebih tinggi, serta berhenti di titik lebih jauh. Sebab terasa betul, potensi mesin masih besar.
Kali ini posisi gas saya tahan di 11.000 rpm. Akselerasi jelas makin cepat. Sampai akhirnya tiba di perempat trek, berhasil memindahkan ke gigi enam dan terus bergulir ke angka 168 kpj. Sayang. Nyali saya tak sebesar itu. Tepat setelah melewati papan 200 meter, memutuskan untuk menginjak rem belakang sembari menurunkan gigi.
Ya, percobaan terakhir ini saya lewatkan dengan tidak optimal. Ingin rasanya kembali menguji, tapi apa daya sudah berakhir. Tapi paling tidak saya yakin betul CBR masih mau melesat lebih cepat. Klaim bisa menyentuh 172 kpj juga rasanya tak berlebihan. Malah bisa jadi lebih. Meski, di posisi gigi enam putaran mesin sudah tak seberingas sebelumnya. Cenderung datar.
Terakhir, rombongan kami diarahkan untuk time trial. Disiapkan lurusan sepanjang 300 meter untuk mengetahui berapa waktu yang tercatat. Lucunya, resultan waktu malah tak diumumkan. Satu-satunya yang saya ingat, motor bisa melaju sampai 140an kpj di gigi empat dalam jarak segitu.
Hanya Pantas Digunakan di Sirkuit?
Tenang. Meski mengenakan perangkat ala motor balap, CBR merupakan sport fairing kelas seperempat liter. Bukan motor kencang serius, diperuntukkan bagi mereka para pemula. Atau kalangan yang menginginkan sesosok motor penakluk sirkuit, tapi masih bisa digunakan harian.
Pemasangan fitur assist dan slipper clutch bukan hanya berfungsi di aspal panjang. Di jalan kota, proses perpindahan gigi juga effortless. Sempat saya coba berjalan perlahan di sela-sela pengetesan tadi. Untuk menggambarkan rasa berkendara di ruas padat.
Tuas kopling sangat ringan. Jemari kiri Anda tak perlu berolahraga menahan. Sebab baik saat ditarik, maupun melepas, keduanya empuk. Begitu juga slipper clutch, memperhalus proses perpindahan serta mengurangi efek engine brake berlebihan. Kadang di dalam kota, ada saja saat-saat harus mengurangi kecepatan dengan cepat. Dan perangkat ini memberi dampak besar.
Lantas quick shifter, rasanya kurang relevan digunakan pada jalanan kota. Terutama saat sedang merayap di putaran bawah. Entakannya mengganggu. Lebih baik tetap menarik kopling saat naik gigi jika putaran mesin di bawah 5.000 rpm.
Sebagai informasi, Honda menanamkan perangkat quick shifter dengan beragam setingan. Anda bisa saja menyalakan fungsi upshift dan down shift, atau mematikan salah satu. Caranya mudah. Dengan menekan tombol belakang saklar kiri selama tiga detik, lalu atur sesuai keinginan. Jangan lupa, harus dalam keadaan diam.
Riding mode tak luput saya uji di sela-sela waktu. Antara mode Comfort, Sport, serta Sport Plus memang kentara. Eskalasi jambakan tenaga dari masing-masing pilihan begitu terasa. Untuk mengaturnya satu tombol dengan quick shifter. Tapi pencet sekejap saja, jangan terlalu lama. Mengubahnya pun bisa dalam keadaan jalan, asal posisi selongsong ditutup terlebih dulu.
Berikutnya posisi duduk, jelas merunduk. Pegal kalau dipakai bermacet-macetan. Tapi sudah jadi konsekuensi jika memilih jenis sport fairing. Harusnya tak ribut soal riding position. Di lain sisi, posisi semacam ini membuat tubuh lebih mudah mengontrol saat sedang manuver tajam dan juga berlari kencang.
Simpulan
Di kelas sport fairing seperempat liter dua silinder, CBR250RR SP Quick Shifter layak disebut pemimpin. Ia punya segalanya, dari mulai performa mesin, kinerja rem, assist dan slipper clutch, quick shifter, sampai mode berkendara dan sistem throttle-by-wire. Ya, jangan jauh-jauh menilik Ninja empat silinder. Meski berkubikasi sama, toh padanan konfigurasi mesin beda total serta selisih harga puluhan juta Rupiah.
Memang, versi penyempurnaan ini tak bisa dibilang sempurna seratus persen. Quick shifter-nya masih mengentak di putaran bawah saat upshift. Tapi secara keseluruhan, kekurangan tadi masih dalam tahap toleransi. Sebab sisanya memuaskan. Untuk harga Rp 76,7 juta – 77,7 juta OTR Jakarta, generasi baru CBR layak jadi opsi utama sport fairing 250 cc. (Hlm/Odi)
Baca Juga: First Ride Honda CBR250RR SP Quick Shifter (Part-1): Pembuktian Jargon Total Control
-
Jelajahi Honda CBR250RR
Model Motor Honda
Promo Honda CBR250RR, DP & Cicilan
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
- Terbaru
- Populer
Video Motor Honda CBR250RR Terbaru di Oto
Bandingkan & Rekomendasi
|
|
|
|
|
Kapasitas
249.7
|
250
|
199.5
|
248.8
|
249
|
Tenaga Maksimal
38
|
35.53
|
25.47
|
29.5
|
38.46
|
Jenis Kopling
Multi-Plate, Wet Clutch with Coil Spring
|
Wet
|
Wet, Multi-Plate
|
-
|
Wet Multi-Plate, Manual
|
Jenis Mesin
Parallel Twin Cylinder, 4-Stroke, 8-Valve, Liquid Cooled, DOHC Engine
|
2 Cylinder, 4-Stroke, 4-Valves DOHC, Liquid Cooled Engine
|
4-Stroke, DOHC Engine
|
Single Cylinder, 4-Stroke Engine
|
Parallel Twin Cylinder, 8 Valves, 4-Stroke, Liquid Cooled Engine
|
Torsi Maksimal
23.3 Nm
|
23.6 Nm
|
-
|
24 Nm
|
23.5 Nm
|
ABS
Tidak
|
Tidak
|
Ya
|
-
|
Tidak
|
Mode Berkendara
Sport, Road
|
Sport, Road
|
Road
|
Road
|
Sport
|
Rem Depan
Disc
|
Disc
|
Disc
|
Disc
|
Disc
|
|
Tren Sport
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Artikel Motor Honda CBR250RR dari Zigwheels
- Motovaganza
- Review