Test Ride Royal Enfield New Himalayan (Part 2): Penakluk Segala Medan, Tak Sukar Dikendalikan
Offroad merupakan separuh tugas Himalayan meski porsinya tak banyak. Jangan harap kapabilitas selihai trail. Ada batas-batas tertentu lantaran dimensi besar. Tapi atas daya kendali menjanjikan, serta bekalan ban Pirelli MT (21-18 inci), tak ada salahnya mencoba berlaga di atas permukaan tanah agak ekstrem.
Eksplorasi di Atas Tanah
Setelah beberapa hari, saya mendatangi sirkuit offroad Pagedangan. Selain lokasi tidak terlalu jauh, arenanya terbilang lengkap. Cukup untuk menggambarkan keterampilan Himalayan di atas tanah.
Uniknya, sesaat setelah masuk track, ternyata tim KTM tengah menguji petualang menengah barunya. Ya, KTM 390 Adventure. Rival utama Royal Enfield Himalayan. Sekaligus sosok yang mengubah persepsi saya bahwa Himalayan menjadi penjelajah segmen pemula paling masuk akal dari segi harga. Sebab dengan selisih lebih mahal sedikit grup oranye menawarkan serangkai fitur canggih. Menggoda.
Tapi itu urusan nanti. Ini waktunya kencan dengan Himalayan. Setelah sedikit mencuri pandang 390, selongsong gas saya putar tanpa ragu. Menanjak bebatuan dan pasir licin.
Ya, tak mengagetkan. Semua itu dilintasi dengan mudah oleh Himalayan. Sensasi menikung sembari membuang ban belakang rasanya begitu nikmat. Lagi-lagi harus saya katakan, torsi melimpah sejak putaran bawah menjadi nilai jual si klasik.
Menyusuri ruas-ruas kecil di pinggiran track rasanya pun tak sulit. Padahal banyak lubang-lubang besar tak beraturan. Sembari setengah berdiri, semua dituntaskan sempurna. Seketika lupa bahwa motor ini punya berat 191 kg. Sebab tak terasa sulit kala bermanuver.
Pun saat perlu mengkuti jalur setapak, badan dan tangan tinggal mengikuti saja. Rasanya tak berlebihan jika saya bilang mirip naik trail 250 cc. Postur standar orang Asia, mestinya masih sanggup memerintah Himalayan ke manapun.
Travel suspensi benar-benar panjang. Tak perlu khawatir melalui rintangan semacam gundukan tinggi serta batu-batu besar. Baik di depan dan belakang redamannya empuk. Secara bersamaan tak membuat motor hilang kendali, alias limbung berlebihan.
Namun saat melesat dan coba melompat, baiknya jangan terlalu kencang. Walaupun diameter tabung fork 41 mm, jenisnya masih teleskopik. Beda cerita mungkin kalau pakai upside down. Biasanya, jenis inverted lebih optimal meredam guncangan keras saat mendarat.
Merayap dinding tanah ala motor enduro masih bisa dilahap. Area kolong cukup tinggi. Catatan angka ground clearance 220 mm, tak perlu takut tersangkut. Kapabilitas offroad Himalayan saya kira lebih dari cukup. Ia dapat menuntaskan semua tugas, lebih dari seharusnya.
Lantas bagaimana dengan kehadiran ABS paten? Kalau sedang melaju di kisaran 15 kpj lebih, tak ada cerita bisa menginjak pedal rem dan sengaja mengunci ban belakang untuk manuver tertentu. Sensor bakal langsung bekerja, meski tak sesensitif di kecepatan tinggi.
Namun jika sedang mengeksplorasi jalur tanah perlahan – sekitar di bawah 15 kpj – respons ABS makin sedikit lagi. Kalau-kalau dibutuhkan waktu merayap di turunan, ban belakang bakal mengunci. Dan dengan bebas mengarahkan roda belakang motor di medan tanah.
Singkatnya, waktu offroad sensor sedikit mengganggu namun memang tak berlebihan. Tapi tetap saja, alangkah lebih sempurna jika fitur yang tersedia di Himalayan versi India (ABS Switch) turut dipasang. Sebab, kompetitor dari grup oranye memilikinya. Dan memang relevan dengan jenis motor petualang manapun.
Sebagai Transportasi Harian
Variabel ini jelas bukan tugasnya. Namun berbekal pengalaman berkendara di segala medan, sepertinya bukan hal mustahil membawa Himalayan sebagai alat transportasi harian. Toh sosoknya tak intimidatif walau masuk kategori moge.
Mulai dari suhu mesin. Embusan angin panas cenderung moderat. Ada hawa hangat ke kaki dan lutut, tapi sama sekali tidak ekstrem. Pun kalau macet, suhunya segitu-segitu saja. Masih bisa ditolerir. Bahkan saat menguji hal ini saya tak melulu pakai celana panjang. Nyatanya sistem pendingin oli cukup optimal, meski tanpa radiator.
Figur dimensi sebetulnya agak besar kalau dirunut hitungan angka. Panjang mencapai 2.190 mm, lebar 840 mm, serta tinggi 1.390 mm. Tapi jarak jok ke tanah 800 mm sekali lagi memang bermanfaat. Pas untuk postur kami orang Asia. Alhasil, walau beratnya 191 kg dan bongsor dapat teratasi dengan mudah.
Terlalu subjektif? Tenang dulu. Saya memberi kesempatan rekan wartawan OTO.com, yang biasa menguji roda empat dan awam soal pengendalian motor besar. Sesaat setelah mencoba, ia mengakui apa yang saya rasakan. Tanpa kesulitan sama sekali. Untuk informasi saja, tinggi badan dirinya sama dengan saya tapi berat tubuh tak sampai 60 kg. Rasanya argumen soal tak sukar dikendalikan cukup kuat bukan?
Lanjut soal konsumsi bahan bakar, juga tak menguras kantong dalam. Jangan dibandingkan skutik, sudut pandang kali ini untuk mereka yang terlanjur ingin tampil maskulin walau sekadar jadi kuda harian. Dan angka 24,2 kpl, bukanlah catatan buruk untuk motor sebongsor ini. Berikut tak sulit mencari oktan 90 di manapun.
Dan bicara desain, versi terbaru makin stylish. Tak lagi monoton seperti generasi sebelum. Corak-corak ekspresif ditambahkan ke wujud tua. Salah satunya unit tes yang saya bawa, bertajuk Sleet Grey. Grafis ala kamuflase tentara tertera dari sepatbor, tangki, hingga fender belakang. Macho!
Selain itu tersedia pula kelir cerah. Adalah Rock Red, percampuran merah hitam. Dilanjut Lake Blue, hasil perpaduan biru putih, serta silver tua dan dua warna lama. Pilihannya makin beragam, mengubah aura konvensional jadi lebih menarik.
Simpulan
Himalayan terbukti mampu memberi kemudahan pengendalian bagi siapa saja, di mana saja lansekap-nya. Kapabilitas jelajah antar kota, mengarungi medan offroad, sampai dipakai harian, memuaskan. Meski hal-hal minor cukup mengganggu. Harganya pun tak terlampau mahal, Rp 114,3 juta OTR Jakarta.
Tapi perspektif tadi kalau dilihat sebagai objek tunggal. Agak sulit jika tak mengaitkan rival utama. Sebab hari ini, argumentasi soal Himalayan jadi petualang menengah paling murah di pasaran tak lagi relevan. KTM 390 Adventure menantang dengan bekalan komponen dan fitur jauh lebih advance, sementara selisihnya hanya Rp 5 juta lebih mahal. Tipis.
Ya, suka tak suka, faktanya seperti itu. Mungkin kalangan yang menuntut hadirnya teknologi mutakhir, serta serangkai fitur elektronik canggih, dengan mudah terdistraksi dan melihat Himalayan sebagai barang usang.
Boleh jadi alasan kuat konsumen tetap meminang petualang Royal Enfield mengacu pada sesuatu yang tak terukur: Selera. Ia jadi pemain tunggal (di kelasnya), masih mengadopsi gaya klasik. Berikut sensasi mengendarai motor layaknya kuda besi lawas. Hal yang tak dapat ditawarkan kompetitor.
Kerap kali, serangkai teknologi advance serta embel-embel desain modern bukan dijadikan prioritas. Tangguh berjelajah ke mana saja dan tidak intimidatif rasanya cukup. Dan saya pribadi, masuk dalam kategori itu. (Hlm/Tom)
Baca juga: Road Test Royal Enfield New Himalayan (Part 1): Penakluk Segala Medan, Tak Sukar Dikendalikan
-
Jelajahi Royal Enfield Himalayan
Model Motor Royal Enfield
Promo Royal Enfield Himalayan, DP & Cicilan
GIIAS 2024
IMOS 2024
Tren & Pembaruan Terbaru
- Terbaru
- Populer
Motor Unggulan Royal Enfield
- Terbaru
- Populer
Video Motor Royal Enfield Himalayan Terbaru di Oto
Bandingkan & Rekomendasi
|
|
|
|
|
Kapasitas
411
|
313
|
499.6
|
373
|
411
|
Tenaga Maksimal
24.3
|
34
|
46.9
|
43
|
24.3
|
Jenis Mesin
Single Cylinder, 4-Stroke, Liquid Cooled, SOHC Engine
|
Single Cylinder, 4-Stroke, 4-Valve, Water Cooled, DOHC Engine
|
Inline 2 Cylinders, 4-Stroke, Liquid Cooled, 4 Valves DOHC
|
Single Cylinder, 4-Stroke, Liquid-Cooled
|
Single Cylinder, 4-Stroke, Air Cooled, SOHC Engine
|
Torsi Maksimal
32 Nm
|
28 Nm
|
46 Nm
|
37 Nm
|
32 Nm
|
Ground Clearance
220 mm
|
-
|
-
|
200 mm
|
200 mm
|
Ukuran velg depan
R21
|
R19
|
R19
|
-
|
R19
|
Ban depan
90/90 R21
|
110/80 R19
|
110/80 R19
|
-
|
100/90 R19
|
Mode Berkendara
-
|
Touring, Sport
|
Sport, Tour, Road
|
Road, Race, Touring
|
Off Road, Street
|
|
Tren Adventure Touring
- Terbaru
- Populer
Artikel Motor Royal Enfield Himalayan dari Zigwheels
- Motovaganza
- Review