Test Ride Kawasaki KLX150BF, Menikmati Motor Multi Purpose di Habitat Aslinya
Saya termasuk penggemar motor-motor model adventure. Entah kenapa. Menunggangi motor jenis trail ini terasa gagah, belum lagi soal kepraktisannya. Saya sempat punya Kawasaki KLX150S, meski sekarang saya lebih menggunakan motor matic untuk aktivitas sehari-hari. Bukan apa-apa, lebih ada soal kepraktisan di dalam kota.
Kembali ke soal trail, hal yang membuat saya jatuh cinta adalah kemampuan multi purpose menjanjikan rambah medan apa saja. Bisa pilih-pilih tergantung mood dan keinginan, sekaligus melihat keindahan alam dan rute yang ditelusuri. Anda tinggal siapkan motor, lalu tentukan destinasi dan rute yang ingin dilalui.
Destinasi itu penting, karena jalur menentukan sensasi dan kenikmatan. Tinggal macam apa jalanan yang mau ditempuh. Ada yang suka lumpur dan nyebur sampai berhari-hari, ada yang suka enduro atau cross-country, atau hanya sekedar snailtrail sembari menikmati perjalanan. Mau dikombinasi juga bisa, bebas saja. Tapi, bagi kami jalur kombinasi itu lebih paten.
Untuk mewujudkan itu, kami mendapat kesempatan menjajal tiga motor sekaligus. Ada Honda CRF150L, Yamaha WR155 R dan Kawasaki KLX150BF. Semua dibekali ban pacul (offroad). Setelah dibagi, Helmi jadi joki Honda, Zenuar Begenk riding Yamaha dan saya mengendarai KLX. Awalnya ingin ke Kasepuhan Ciptagelar melalui rute Pelabuhanratu, Cikelat, Cikadu dan Gunung Bongkok. Tapi karena hari yang tersedia terlalu pendek, kami akhirnya memilih ke Cipamingkis, Bogor via Jalan Puncak Dua.
Akibatnya, rute yang tersedia tidak terlalu berat,tapi tidak kalah menarik. Terbagi-bagi dalam beberapa landskap. Dari mulai aspal kota, aspal rusak, jalur berliuk pedesaan, tanah kering dan berlumpur, sampai bebatuan. Jaraknya pun boleh dibilang singkat, sekitar 57 km dari selatan Ibu Kota.
Meski demikian, daerah ini sangat dikenal oleh para penyuka motor, khususnya trail. Kontur jalan turun naik, membelah sawah, perbukitan dan pedesaan menjadi daya tarik. Apalagi, daerah Cipamingkis memang kawasan wisata dan bisa tembus ke Jonggol atau Kota Bunga, Cianjur.
So, rute perjalanan ini kami sepakati. Bertiga kami kumpul di restoran cepat saji yang jadi favorit meeting point sebelum touring di TB Simatupang, Jaksel. Meski janji pagi, kami akhirnya berangkat sekitar jam 11-an siang. Tak apalah, kami bisa sampai di Cipamingkis sore hari dan bermalam di sana.
Baca juga: Test Ride Yamaha WR 155 R: Eksplorasi Cipamingkis, Cari Kejutan Tualang Akhir Pekan
Sejak meluncur menyelusuri Jalan Raya Bogor, kami bertiga sudah diguyur hujan deras. Selain kondisi jalanan yang sudah mulai ramai, ban pacul cukup menyulitkan kami untuk memacu motor trail lebih cepat karena grip jadi lemah di jalan aspal. Mesti hati-hati agar tetap stabil.
Melipir sebentar menunggu hujan reda, kami memutuskan kembali jalan. Hujan benar-benar berhenti ketika kami memasuki daerah Citeureup. Kami sengaja memilih lewat pasar Citeureup karena lebih singkat dibandingkan lewat Taman Budaya Sentul yang agak melambung. Lanjut Curug Hejo lalu tembus ke Desa Sukamakmur.
Meski tak lagi hujan di Citeureup, mendung masih menggelayut di langit. Kami putuskan tetap memakai jas hujan walau kepanasan. Biar sewaktu-waktu turun, kami sudah siap.
Benar saja, tak berapa lama hujan deras mengguyur. Pandangan mata menjadi terbatas, tapi kami gas terus biar tidak kemalaman sampai tujuan. Air hujan, kabut dan hawa dingin yang menusuk ke badan menjadi sensasi tersendiri. Ditambah nikmatnya kontur jalan aspal rusak turun naik.
Bermalam di Cipamingkis
Tepat bedug Maghrib, tiba di daerah wisata Cipamingkis yang alami. Perut dalam kondisi keroncongan karena konsumsi terakhir adalah makan pagi di TB Simatupang, kami langsung parkir di sebuah warung penduduk setempat. Lalu makan dengan lahap, dikelilingi oleh hutan pinus yang rapat, disambut lolongan anjing bersahutan.
Setelah makan baru kami mencari penginapan kecil yang harganya terjangkau. Sebuah losmen unik model saung terbuat dari kayu dan bambu jadi tempat kami rebah semalaman. Di depannya terdapat kolam ikan mas dan aliran sungai kecil. Ah, suasana yang takkan pernah Anda dapatkan di Ibu Kota.
Meski pada malam hari, suhu di sini dinginnya minta ampun. Baju dua lapis, kaus kaki dan selimut tak bisa membendung temperatur rendah. Pokoknya bikin susah tidur nyenyak, padahal kami besok harus ngegas lagi.
Baca juga: Test Ride Honda CRF150L, Melepas Rindu Blusukan ke Cipamingkis
Tancap Gas ke Gunung Batu
Paginya kami sudah siap-siap. Medan yang kami bakal tempuh pas sekali buat motor trail. Jalanan makadam dengan jalur lumpur kecil dan genangan-genangan air. Rute ini cukup familiar karena pernah ke sini tiga tahun lalu dan menikmati rute kombinasi sampai tembus ke Jonggol.
Tiga motor trail kami arahkan ke Desa Sukawangi. Ternyata jalanan yang dulu kami pernah lewati, sudah berlapis beton dan aspal. Masih baru, sekitar setahun. Kurang seru, kami memilih rute lain yang 'perawan', masih di dekat situ sekalian mencari jalan ke Gunung Batu.
Kawasaki KLX 150 BF melibas setiap genangan air dan makadam dengan tenang. Memang kalau dibandingin WR155, masih kalah akselerasi dan torsi. Karena Yamaha punya tenaga lebih besar. Tapi bagi saya, 12 PS pada KLX terasa berdaging. Torsi 11,3 Nm juga gemuk ketika merambah tanjakan makadam. Jadi tak kerepotan ketika harus mendaki dengan bodi mantul-mantul melindas tumpukan batu.
Suspensi depan upside down membuat guncangan jadi tidak terlalu kasar di tangan. Feedback yang dirasakan setang dari tumbukan ban dengan jalur makadam terasa lebih lembut, mengayun. Alhasil, lengan bisa terasa lebih santai memainkan setang. Beda dengan KLX150S yang saya miliki dulu. Suspensi depannya teleskopik. Guncangan terasa keras sehingga pegangan telapak tangan di setang harus lebih kuat. Tangan menjadi lebih cepat pegal. Karena kurang terasa rileks, setang terasa lebih berat ketika harus memilih jalur tumbukan makadam.
Road Trip Cipamingkis
Dengan suspensi depan baru, motor terasa lebih ‘ajeg’ ketika melewati medan lumpur dan genangan air. Perpaduan suspensi depan upside down dengan suspensi belakang Uni-Track Monoshock bawaan pabrik membuat goyangan menjadi lebih enak. Mengayun stabil ketika ‘menari-nari’ dan buntut belakang minim belanja. Pengendarapun merasa lebih percaya diri saat harus melibas beragam jalur berat.
Dimensi panjang 2.070 mm dan lebar 825 mm terbilang cukup kompak. KLX tetap gesit bermanuver di ragam jalan. Ban Dunlop 21 inci depan dan 18 inci belakang memang agak sedikit keteteran di jalur makadam. Menyiasatinya, tinggal dikempeskan sedikit saja ban belakang dan depan, agar tak terlalu mantul di jalanan berbatu dan tidak terlalu licin. Resep ini lumayan mujarab.
Soal ground clearance, tak perlu cemas. Jarak 29,5 cm dengan tanah bikin motor trail tetap mulus ketika membentur permukaan makadam maupun lubang. Kecuali kalau kita melewati gelondongan kayu (log), ya harus teliti mengukur.
Buat saya, Kawasaki KLX ini satu saja kekurangannya, postur tinggi 1,155 m. Profil badan saya yang 167 cm kurang jangkung, dan kaki saya juga kurang panjang. Kalau ‘kepater’ di tanjakan makadam, lalu motor kehilangan traksi, kaki jadi penari balet. Kalau terlalu miring, tubuh sulit menahan bobot motor 118 kg. Jadi ya mesti ‘jatuh bego’, daripada ketiban motor.
Biasanya, agar tidak terlalu tinggi, saya turunkan suspensi atau pakai ban 19 x 16. Yang penting kaki tak terlalu jinjit. Ketika lewat jalan miring, bisa tetap kokoh berdiri. Tapi paling tidak, perjalanan kami akhir pekan ini sangat mengasyikkan. Apalagi setelah berbulan-bulan mendekam di rumah akibat pandemi Covid-19. (Eka/Raju)
Baca juga: Test Ride All New Yamaha Aerox 155 Connected di Trek Balap, Bobot bukan Kendala
Model Motor Kawasaki
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Motor Kawasaki KLX 150L Terbaru di Oto
Tren Off Road
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Artikel Motor Kawasaki KLX 150L dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature