Paris Motor Show Sepi, Pameran Otomotif Konvensional Mulai Ditinggalkan?
Ada yang berbeda saat Paris Motor Show 2018 berlangsung. Ingar bingar mulai sirna. Beberapa pengunjung melihat kendaraan masa depan, mobil listrik dan beragam jenis mobil produksi. Namun antusias di pusat konvensi Porte de Versailles, terasa sedikit lebih jarang dari biasanya.
Berdasarkan pandangan mata Autoblog, ini bukan sekadar sensasi subyektif belaka. Atau hanya dari prespektif pusat gelaran yang terpisah dari tujuh bangunan. Banyak pameran serupa yang kurang diminati. Namun sejatinya bukan Paris saja yang mengalami ini. Tengok pameran seperti GIIAS 2018, yang lokasinya lumayan tersebar. Dan persamaan keduanya: relatif sepi pengunjung.
Sederet produsen otomotif ternama mulai enggan unjuk gigi di Paris tahun ini. Ada yang turut serta. Namun sedikit pemain otomotif yang menampilkan unitnya. Beberapa pemain utama di Eropa seperti Alfa Romeo, Fiat, Nissan dan Volkswagen memilih untuk absen. Langkah itu diikuti pula oleh produsen mobil eksotis seperti Bentley, Aston Martin dan Lamborghini.
Bukan pula soal antipati dari pihak produsen Jerman, Inggris dan Italia terhadap pasar Prancis. Meskipun, kalau kita tengok beraggam alasan historis dan kemasyarakatan, bahwa pasar mungkin lebih didominasi oleh kendaraan yang diproduksi di dalam negeri. Bukan dari produsen asing, di luar Prancis.
Kondisi mirip di Indonesia
Pameran GIIAS 2018 yang berlangsung selama 10 hari di ICE, BSD City Tangerang, pun sepi. Penyelenggara tak menyuguhkan data riil, baik untuk jumlah pengunjung, penjualan, maupun transaksi. Padahal, tahun lalu saja mereka sigap mencatat semuanya. Data terkunci rapat.
Lapak aftermarket yang biasanya disesaki pengunjung, tahun ini lebih lengang. Akhir pekan bahkan lebih sepi. Situasi berbanding terbalik dari 2017.
Gelaran yang sepi semakin menunjukkan pergeseran tren pameran yang terjadi di industri otomotif global. Banyak contohnya. Tahun lalu, Mercedes-Benz mengumumkan bahwa mereka tidak berpartisipasi dalam North American International Auto Show pada 2019. Sementara merek lain termasuk Jaguar & Land Rover, Audi, Porsche, Mazda dan hampir setiap produsen mobil eksotis juga hengkang dari gelaran otomotif Detroit itu.
Ada pula pendapat bos VW, Herbert Diess, yang menilai pameran mobil tradisional sudah tak punya masa depan. Sedang event seperti Goodwood Festival, malah dianggap lebih hidup dan bisa memamerkan mobil yang diinginkan manufaktur dengan lebih baik.
"Mereka (pameran otomotif global) adalah produk lahiran 1960-an dan sudah tidak relevan lagi. Mereka tidak bisa menyampaikan apa yang manufaktur inginkan dan tidak bisa menyajikan yang diinginkan pembeli mobil. Publik perlu mendapat interaksi lebih dengan produk. Dan gelaran Goodwood Festival of Speed merupakan cara modern untuk memamerkan produk kepada publik,” ungkap Diess kepada Motoring Australia.
Kalau di Indonesia, kita punya IIMS dengan konsep yang agak berbeda dengan pameran konvensional. Lebih banyak nuansa ‘ceria’ dan banyak konten yang tak langsung bersinggungan dengan produk. Hasilnya mereka mencatat transaksi Rp 4,08 triliun. Melonjak dari tahun sebelumnya, hanya Rp 3,2 triliun. Jumlah pengunjung pun tembus 526.431 orang.
Selain IIMS, pameran seperti PRJ, Kustomfest, Parjo justru mendapat lebih banyak perhatian. Tak sedikit masyarakat yang lebih antusias mengikuti acara. Selain lokasi yang mudah diakses, ragam acara pun menurut kami lebih ‘membumi’. Beberapa APM roda dua rajin turut serta di PRJ. Sebab target konsumen mereka sama. Jika konsep yang makin menarik terus dikembangkan, tak mustahil APM mulai beralih dari pameran konvensional menuju pameran yang lebih kontemporer.
Strategi berbeda
Ada APM yang memilih bertahan mengikuti pameran otomotif konvensional. Namun beberapa merek ini masih bikin acara di luar kantor untuk merilis produk. Kemudian mereka memanfaatkan kehadiran sejumlah jurnalis yang hadir. Dan bahkan beberapa produsen mengubah pengenalan kendaraan mereka. Mobil dikenalkan beberapa hari sebelum ajang motor show. Tradisi macam ini berlaku di Indonesia dan global.
Dalam berbagai sudut pandang ini masuk akal. APM atau produsen mobil ingin mendapatkan perhatian dari masyarakat dulu. Logikanya, jika semua orang berteriak pada saat yang sama, tidak ada yang bisa mendengar.
"Pembuat mobil menyadari rasio biaya atas manfaat menghadiri pameran mobil yang kurang masuk akal. Era digital sudah semakin canggih. Banyak target pula hasil mengikuti pameran. Jadi lebih banyak perusahaan yang memilih rute lain," jelas Karl Brauer, analis industri Kelley Blue Book, seperti dikutip dari Autoblog.
Produsen skala kecil dan besar, mengemukakan bahwa jauh lebih masuk akal mengikuti acara tertentu dengan anggaran terbatas. Mereka lebih tertarik mengikuti acara otomotif seperti pameran mobil klasik Pebble Beach dan Goodwood Revival. Atau bahkan lebih spesifik lagi, acara gaya hidup seperti pertandingan polo, lomba perahu layar atau pekan raya seni rupa seperti Art Basel atau Frieze.
Terlepas dari kenyataan bahwa ajang motor show mulai redup, produsen mobil mainstream tetap mengikuti jalur ini. Mereka punya alasan sendiri, meski dengan biaya yang tak sedikit. "Uang yang sama itu bisa menghasilkan acara gala yang mewah dan berkesan, yang berlangsung satu malam. Lebih penting, ketimbang bersaing untuk mencuri perhatian dengan lusinan kendaraan dan merek lain,” jelas Brauer.
Ambil contoh lain. Bukan pula isapan jempol, saat bisnis mobil dan bisnis teknologi menjadi semakin terjalin. Maka kita bisa sedikit meramalkan masa depan. Bisnis keduanya hampir tidak bisa dibedakan. Beberapa merek menggunakan gelaran elektronik seperti CES, untuk memperkenalkan kendaraan listrik, otonom dan jaringan baru mereka.
"Produsen mobil memanfaatkan kombinasi acara macam itu. Sebab dianggap sebagai tempat menarik untuk menyampaikan pesan produk mereka. Kelak semakin banyak produsen yang akan menggunakan taktik ini, daripada mengikuti pameran otomotif. Selain mengendalikan pesan yang ingin disampaikan, proses ini menghindari atmosfer berita kompetitif dari pameran otomotif, " lanjut Brauer.
Pandangan serupa pun disampaikan oleh Natanael Sijanta, Direktur Pemasaran Mercedes-Benz. "Tentu saja itu bisa menjadi peluang di masa depan. Tapi kami bukannya tak mau mempertahankan platform tradisional (ajang motor show, Red). Kami sedang mencari cara terbaik, untuk memperluas pesan kami demi menjangkau semua kelompok sasaran," bebernya.
Kembali ke Indonesia. Sebetulnya potensi pasar otomotif masih besar. Untuk menggairahkan pasar, pameran otomotif tetap penting. Namun, jangan lupa untuk belajar dengan pergeseran tren global dan melihat untuk menciptakan peluang baru. Agar pesan mengenai produk lebih diterima dengan baik. (Alx/Odi)
Sumber: Autoblog, Motoring
Baca Juga: Teknologi Otonom Toyota Siap Bantu Mobilitas Tokyo Olympic 2020
Jual mobil anda dengan harga terbaik
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Mobil Terbaru di Oto
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature
- advice