Jangan Pernah Percaya Angka Konsumsi BBM Klaim Pabrikan
Dalam beberapa bulan terakhir beberapa pabrikan mobil terjebak oleh kemelut soal uji keiritan bahan bakar yang mereka lakukan sendiri.
Tercatat dari pabrikan Jepang, Mitsubishi dan Suzuki terlibat, sedangkan dari Amerika Serikat, General Motors, terpaksa menghentikan penjualan 60.000 kendaraan jenis crossover karena hasil pengujian mereka yang melenceng dari klaim. Hal ini juga terjadi pada Hyundai-Kia pada tahun 2012, yang terpaksa merevisi angka konsumsi BBM mobil mereka yang dijual di Amerika Serikat, plus membayarkan kompensasi kepada konsumennya.
Hal ini kemudian menjadi pertanyaan, apakah kita masih perlu percaya dengan apa yang dikatakan oleh pabrikan mobil, soal konsumsi bahan bakar. Jawabannya adalah sebaiknya jangan percaya. Angka konsumsi bahan bakar yang tertera di brosur atau iklan mobil adalah angka yang didapat oleh pabrikan, dalam kondisi optimal.
Dalam arti, pengujian dilakukan di lokasi yang tertutup, dengan sederet parameter yang mengiringinya. Walhasil, banyak yang kecewa saat di kondisi lalu lintas nyata, konsumsi bahan bakarnya lebih boros.
Kenapa Angka Itu Jadi Penting?
Lantas, kenapa para pelaku marketing di dunia otomotif mengedepankan iritnya konsumsi bahan bakar sebuah mobil (atau motor)? Menurut Jalopnik hal ini terjadi di era 1970-an, saat krisis bahan bakar melanda dunia. Krisis ini bukan hanya membuat pabrikan mobil banting setir membuat mobil yang efisien seperti AMC Gremlin di bawah, tapi juga perlu menampilkan sesuatu yang signifikan untuk menjual produknya. Dan saat krisis terjadi, angka konsumsi bahan bakarlah yang dikedepankan.
Era tahun 1980-an angka klaim tersebut menjadi sesuatu yang wajib ada di brosur, ataupun di kepala sang wiraniaga. Merasa kurang detil, hasil pengujian kemudian dibagi dua bagian yaitu dalam kota dan luar kota/jalan tol, dan selanjutnya ditampilkan juga angka rata-rata.
Dan sejak itu, keiritan konsumsi BBM menjadi salah satu parameter yang menjadi pertimbangan utama saat membeli mobil, oleh semua konsumen di seluruh dunia, termasuk Anda dan kami di redaksi.
Kini, dengan hadirnya teknologi MID di hadapan pengemudi, yang salah satu isinya adalah konsumsi bahan bakar, angka di brosur tadi malah jadi semakin menggelikan karena seolah menunjukan kalau uji coba efisiensi mereka tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Apalagi kalau Anda selalu berkutat dengan padatnya lalu lintas perkotaan.
Metode Uji Konsumsi BBM
Sebenarnya bagaimana para pabrikan itu menguji konsumsi bahan bakar? Di lintasan tertutup? Tidak juga. Mereka melakukannya di ruangan tertutup. Tepatnya laboratorium yang dilengkapi dengan dynamometer (atau mesin dyno, seperti yang lebih dikenal oleh kalangan pecinta otomotif).
Dalam prosedur pengujian itu mobil diletakan diatas mesin dyno, kemudian roller diberi beban yang mensimulasikan hambatan angin, hambatan gulir ban, dan bobot mobil beserta pengendaranya. Dan di bagian inilah Mitsubishi ‘mengakali’ metode pengujiannya untuk menghasilkan mobil yang irit.
Mobil kemudian berjalan diatas roller (bayangkan treadmill, kalau bingung) dengan kecepatan, rentang waktu, dan jarak tertentu. Inilah yang mensimulasikan kendaraan sedang berkendara di kota atau jalan tol. Untuk mobil berbahan bakar fosil (diesel atau bensin), dipasangkan juga sensor di lubang knalpot, untuk menghitung seberapa banyak carbon yang dihasilkan. Nah, besaran carbon inilah yang menjadi tolok ukur seberapa banyak bensin yang terbakar. Ingat, ini hanya berlaku untuk mobil-mobil berbahan bakar fosil, bukan listrik.
Setelah selesai diuji, hasilnya diserahkan ke badan pemerintah seperti EPA (Environmental Protection Agency) di Amerika, contohnya. Meski badan tersebut melakukan uji ulang, namun tetap saja hasilnya hanya mendekati kondisi sesungguhnya, tidak benar-benar mutlak. Menurut CBSNews, masalahnya adalah seharusnya badan regulator di negara-negara produsen yang menguji langsung. Namun hal ini kembali lagi ke hal paling dasar: Minimnya dana pemerintah untuk melakukan uji.
Nah, karena metode pengujian dengan parameter inilah akhirnya banyak yang mengeluhkan mobil mereka tidak seirit yang diinformasikan oleh pembuatnya. Akhirnya muncul keluhan yang tidak jarang sampai dibawa ke pengadilan. Belum lagi karena dilakukan oleh internal mereka sendiri, akhirnya ada saja yang nakal.
Makanya Jangan Terlalu Berharap
Jadi apakah salah kalau konsumsi BBM menjadi pertimbangan? Tentu saja tidak. Namun sejak kejadian Mitsubishi dan Suzuki kami lebih memilih untuk membuat konsumsi BBM sebagai bahan pertimbangan ‘belakangan’.
Satu hal yang bisa kami sampaikan adalah, jangan terlalu percaya dengan angka yang tertera di brosur. Di dunia nyata, kondisi lalu lintas, cuaca, hingga bagaimana gaya berkendara menjadi faktor penentu irit tidaknya sebuah mobil atau motor.
Lalu siapa yang bisa dipercaya? Media otomotif memang memiliki prosedur dan metode pengujian yang hampir sama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia: Mobil diuji di jalan raya sesuai kondisi sesungguhnya, dan pengujian BBM menggunakan metode Full To Full, dimana BBM diisi hingga penuh, menempuh jarak atau waktu tertentu, dan kemudian diisi penuh kembali. Dari situ bisa dilihat berapa banyak BBM yang dikonsumsi.
Namun hal ini juga akan berbeda saat Anda yang berkendara. Kenapa? Balik lagi: Cuaca, gaya berkendara, hingga aerodinamika. Jadi siapa yang harus dipercaya? Jawabannya sederhana. Hati. Kalau sudah klop, ya sudah, beli saja mobilnya, sesuaikan gaya berkendara Anda, dan lihat seberapa irit mobil tersebut. Itulah hasil ‘uji konsumsi BBM’ yang paling tidak bisa diganggu gugat.
Baca Juga: 10 jalan paling berbahaya di dunia
Sumber: Jalopnik, fueleconomy.gov, CBS
Foto: Wikipedia, pixelbay
Jual mobil anda dengan harga terbaik
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Mobil Terbaru di Oto
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature
- advice