Aerodinamika Mobil: Hal Yang Rumit Tapi Dibutuhkan
Saat mobil pertama kali dibuat di era 1800-an, tidak ada seorang pun yang terpikir bahwa untuk bergerak, yang namanya kereta bermesin itu harus berhadapan dengan udara. Waktu itu mungkin orang-orang masih terpesona dengan bagaimana sebuah benda beroda bisa bergerak sendiri tanpa harus ditarik kuda atau keledai.
Tapi hal tersebut berubah dengan cepat. Saat ilmu dinamika fluida disangkakan hanya berlaku untuk pesawat terbang, yang juga baru ditemukan oleh Wright Bersaudara, ada beberapa orang yang mulai berpikir, ‘memang mobil tidak terpengaruh oleh udara yang dilabraknya?’ Saat mesin pembakaran internal semakin membuat ‘gerobak’ untuk bergerak kencang, segalanya mulai dipikirkan, termasuk aerodinamika.
Inti dari aerodinamika yang baik adalah, bagaimana caranya agar sebuah mobil bisa memiliki hambatan angin/udara serendah mungkin. Selain itu, jika memungkinkan, sekaligus merendahkan suara angin yang berkumpul 'tertabrak' mobil, serta menghindari daya angkat saat mobil melaju. Tentunya akan sangat berbahaya kalau mobil terangkat dan kehilangan traksi.
Chrysler Airflow
Kembali ke sejarah bagaimana aerodinamika berkembang. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan untuk mempersingkat waktu perjalanan juga semakin tinggi. Hal ini memaksa para pembuat mobil untuk memutar otak bagaimana caranya memenuhi kebutuhan ini. Tentunya mesinlah yang lebih dulu diperhatikan. Namun ternyata belum cukup karena ada hal lain yang menjadi hambatan: Aliran udara.
Hal yang disebut aerodinamika ini menjadi perhatian karena dengan semakin baiknya nilai sebuah aerodinamika, bukan hanya mobil menjadi semakin ‘licin’ saat melaju menghadapi hambatan udara, tapi juga membuatnya lebih irit bahan bakar, sekaligus stabil di kecepatan tinggi.
Tuntutan untuk menjadikan mobil lebih aerodinamis tanpa harus mengikuti bentuk gerobak yang ditarik kuda, semakin meninggi. Para ahli aerodinamika yang tadinya bekerja untuk pembuat pesawat, banting setir dan pindah mendesain mobil. Tahun 1921, ilmuwan dan inventor asal Jerman, Edmund Rumpler membuat sebuah mobil yang bentuknya mirip perahu bernama Rumpler Tropfenauto. Itulah mobil pertama yang memiliki nilai aerodinamika yang jauh lebih baik dari mobil lainnya di kala itu. Bentuknya yang aneh sepertinya kurang menarik minat sehingga proyek ini terhenti di tengah jalan.
Namun hasilnya mulai terlihat saat tahun 1934 Chrysler memperkenalkan Airflow, mobil pertama yang dibangun berdasarkan kepentingan aerodinamika. Anak perusahaannya, DeSoto juga memasarkan mobil yang sama dengan merek DeSoto Airflow. Namun sekali lagi, keduanya kurang begitu sukses di pasaran Amerika Serikat.
Dari benua Eropa, pabrikan asal Cekoslowakia, Tatra, hadir dengan Tatra 77 (T77). Mobil ini lahir dari guratan ahli aerodinamika kapal udara Zeppelin, Paul Jaray dan Hans Ledwinka. T77 ini dibangun dengan penuh kerahasiaan hingga peluncurannya di Praha pada bulan Maret 1934. Saat diuji oleh para jurnalis, T77 bisa dengan mudah mencapai kecepatan 154 kpj, dengan kestabilan dan kenyamanan yang jempolan. Inilah mobil aerodinamis pertama yang sukses secara komersial, berkat kemampuannya berjalan kencang, tanpa menggunakan mesin yang besar (60 hp).
Dan percaya atau tidak, mobil yang menjadi inspirasi untuk VW Beetle ini bertahan sebagai mobil paling aerodinamis di dunia, hingga tahun 1995, saat General Motors memperkenalkan mobil konsep EV-1. Tatra 77 memang sebuah lompatan besar di bidang aerodinamika kendaraan roda empat. Sayang, dengan pecahnya perang dunia kedua, perkembangan aerodinamika menjadi terhambat karena semua sumber daya diarahkan untuk perang.
Di era 1950-1960an, mobil-mobil mulai terpengaruh oleh bentuk streamline yang diambil dari mobil-mobil yang turun di arena balapan. Hal tersebut kemudian berevolusi menjadi sebuah ilmu pengetahuan tersendiri, mengenai bagaimana dengan presisi mendesain sebuah mobil agar bisa memiliki bentuk yang streamline dan memiliki nilai aerodinamika tinggi.
Alat Ukur
Saat Audi memperkenalkan sedan Audi 100, sebuah sedan dengan nilai hambatan aerodinamika (Cd) .30, yang kemudian sukses di pasaran. Pabrikan mobil seolah seperti disadarkan. Aerodinamika mobil bisa menjadi nilai jual yang bagus karena membuat mobil lebih irit. Saat itu, tidak banyak yang tahu apa artinya Cd atau coefficient of drag tersebut, namun lambat laun mulai banyak yang peduli. Penggunaan peranti terowongan angin atau wind tunnel oleh manufaktur kendaraan pun menjadi wajib bila ingin membuat mobil yang aerodinamis.
Penggunaannya cukup sederhana. Sebuah terowongan dengan kipas besar di ujungnya, yang akan berputar untuk membuat angin. Mobil yang akan diuji diletakan di terowongan tersebut, dan sensor-sensor akan mencatat bagian mana yang tidak ramah terhadap pergerakan angin, saat kipas bekerja. Bahkan manufaktur kadang hanya membuat model mobil dalam skala yang lebih kecil dari sebenarnya untuk bisa mengetahui kinerja aerodinamika.
Namun kini, fasilitas yang mahal seperti ini semakin kurang digunakan berkat kecanggihan komputer. Wind tunnel hanya digunakan saat manufaktur ingin memastikan akurasi komputer, dan kemudian menyesuaikan bentuk seperlunya.
Mobil F1 Bukan Yang Paling Aerodinamis
Perlu diingat bahwa mobil dengan banyak spoiler atau sayap tidak lantas menjadikannya memiliki nilai aerodinamika terbaik. Mobil balap Formula1, yang mampu melaju kencang di lintasan bukanlah mobil yang paling aerodinamis. Mobil ini didesain untuk memiliki downforce (daya tekan) yang mumpuni karena kecepatannya yang tinggi.
Sayap, sirip, dan diffuser didesain untuk melakukan hal tersebut, sementara bentuknya yang streamline mulai dari moncong, lekukan body, hingga bentuk batang suspensi, memberikan hambatan angin yang serendah mungkin, alias aerodinamis. Bagaimana cara menggabungkan dua hal tersebut? Itulah tugas engineer yang biasanya memiliki spesialisasi ilmu fluid dynamics. Dan hal ini sangat kompleks dan melibatkan ribuan jam kerja baik di depan meja gambar, di hadapan komputer, maupun di terowongan angin.
Walhasil, nilai Cd sebuah mobil F1 rata-rata .70. Bandingkan dengan Toyota Prius yang mencapai .30. Itu karena Prius memang tidak memerlukan downforce, tapi lebih membutuhkan laju semulus mungkin untuk menghemat energi. Hal ini didapat dari bodinya yang membulat mulus tanpa ada tambahan peranti downforce seperti sayap belakang atau lainnya.
Baca Juga: Teknologi transmisi matic. Beda sistem satu tujuan
Foto: Audi, Toyota, Mad4wheels, nwtf.ac.uk
Jual mobil anda dengan harga terbaik
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Mobil Terbaru di Oto
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature
- advice