Yamaha SR400 Edisi Final, Model Terakhir Dijual Rp 82 Jutaan
Model ikonik dimiliki para pabrikan. Jika di roda empat ada Land Rover Defender dan Mercedes-Benz G-Class yang mempertahankan bentuk otentik. Hal yang sama juga terjadi di roda dua. Misalnya, Yamaha SR400. Hari ini usianya sudah mencapai 43 tahun. Tanpa mengubah konsep wujud besar-besaran begitu pula jantung pacu. Yamaha berencana mengakhiri perjalanan sang roadster klasik. Hari ini, di pasar Jepang, dirilis Yamaha SR400 Final Edition.
Sebenarnya ini jadi kabar yang menyedihkan. Yamaha SR400 sudah diperkenalkan sejak 1978 alias 43 tahun yang lalu. SR400 merupakan Japanese Domestic Market (JDM). Ia kemudian diperkenalkan ke Eropa, Amerika, dan Oceania pada 2014. Saudara kembarnya, SR500 dijual di Asia dan Oceania (1978–1999), Amerika Utara (1978–1981); dan Eropa (1978–1983). Model ini tidak dijual di Jepang.
Sebagai versi terakhir, Yamaha tetap menggarap SR400 sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Tidak ada ubahan muka maupun bentuk sekeliling bodi. Sekadar penyegaran kosmetik belaka. Sementara sebagai penanda mengakhiri usia, mereka bakal mengeluarkan seri limited edition sebanyak 1.000 unit Maret nanti.
Perbedaannya bukan soal teknologi atau teknis. Hanya dari sisi tampilan. Edisi terbatas dilabur warna coklat gelap dengan pin striping retro. Berikut pelek berkelir perunggu. Di saat versi standarnya tak banyak basa-basi decal, wajahnya cenderung polos. Serta dikemas dalam tema two tone abu-abu dan biru.
Dapur pacu lawas masih menjadi amunisi utama SR400. Diprakarsai mesin satu piston dua katup, 399 cc berpendingin udara. Tenaganya 23 Hp di 6.000 rpm dan torsi 28 Nm keluar pada 3.000 rpm. Berpadu girboks lima percepatan manual. Sangat otentik. Meski sejak beberapa tahun silam sudah disesuaikan dengan sistem injeksi elektronik. Bukan karburator lagi.
Namun apapun itu, tetap terbilang sederhana. Basis konstruksi mesin mengadopsi model puluhan tahun lalu. Lengkap dengan starter engkol yang mulai jarang kita temui di motor modern. Sebab dari awal, filosofi SR memang menyasar konteks kemudahan perawatan. Makanya hanya dibekali satu piston dengan rangkaian sederhana. Tanpa perlu banyak sistem elektrik.
Baca juga: Menunggu Kedatangan Honda CBR600RR di Tanah Air Tahun Ini
Yamaha juga tak melakukan ubahan berarti di sistem pengereman. Masih mempertahankan kombinasi disc brake di depan dan model teromol untuk roda belakang. Tidak ada embel-embel ABS. Mereka bahkan tak kompromi perihal masuknya unsur-unsur modern. Lampu utama dan sekelilingnya saja halogen. Serta panel meter model kluster menginformasikan data fundamental semata: Kecepatan dan putaran mesin. Layaknya motor klasik.
Rangkaian mesin dan teknologi tadi menempel di struktur semi double cradle. Desain yang jamak diaplikasikan ke roadster model begini. Dianggap tangguh dan relevan dengan karakternya. Sementara penopang peredaman mengandalkan fork teleskopik konvensional, serta dua shock breaker di belakang. Tanpa pengaturan.
Sangat kontradiktif memang dengan rival kuat yang juga mewakili motor klasik kelas menengah. Honda GB350 dan H’Ness 350 punya segudang teknologi meski bergurat lawas. Seperti sensor ABS, menjadi standar bawaan. Bahkan ada kontrol traksi serta konektivitas gawai. Tapi apa pentingnya bagi para pecinta SR400? Toh yang mereka beli adalah nilai sejarah, serta rasa natural mengendarai sepeda motor. Untuk meminangnya, Yamaha melego Rp 82 jutaan buat seri standar. Sementara seri terbatas segera diumumkan dua bulan lagi.
Baca juga: Ducati Rilis SuperSport 950, Cocok Untuk Pemula
Sekilas Pandang Kisah Yamaha SR400
SR400 merupakan salah satu roadster favorit dari Yamaha selama puluhan tahun. Alasannya bukan perihal performa tinggi. Justru sebaliknya, karena rangkaian sederhana. Dimensinya kompak untuk ukuran motor menengah. Begitu pula berpenampilan klasik, serta memiliki mesin satu silinder, satu cam, satu kaburator /injektor, membuatnya mudah dirawat.
Bicara soal awal mula kelahirannya, tak bisa lepas dari peran reli Dakar yang agung itu. Konsep dapur pacu dan konstruksi diambil dari Yamaha XT500 berjenis enduro. Tentunya sempat berlaga di ajang balap ketahanan padang pasir, sejak 1975-1981. Dari situlah, masuk medio 70an akhir platformnya diterapkan ke SR400.
Kokoh, reliable, serta bertenaga. Tiga unsur itu yang dikejar. Dan ya, sesungguhnya tidak hanya satu spesies. Platform XT500 mentah-mentah diambil dan melahirkan sosok SR500 untuk versi ekspor. Sementara SR400 adalah versi dengan komposisi langkah mesin lebih ringkas, khusus pasar domestik Jepang. Dikarenakan aturan regulasi emisi.
Tak lama kemudian, basis silinder tunggal SOHC berkompresi rendah itu langsung jadi favorit. Atas kemampuan menggapai torsi kuat dan cepat. Tanpa harus sulit dikendalikan berkat dimensinya ringkas. SR500 mulai meramaikan jalanan kota di Eropa serta Amerika Serikat. Begitu pula SR400, memenuhi gairah bermotor anak muda di perkotaan Tokyo.
Belasan tahun mengaspal, justru SR500 tidak jadi favorit lagi. Ia menghilang dari daftar jual persis memasuki era milenium. Sementara produksi pabriknya dihentikan sejak 1999. Namun beda cerita dengan SR400. Demand lokal Jepang masih kuat, sehingga terus diproduksi. Dan pasar Eropa serta Amerika Serikat akhirnya diisi oleh SR400 mulai 2014. Untuk memenuhi permintaan kultur custom yang sedang ramai.
Pada tahun yang sama, Yamaha mengubah sedikit teknologi untuk penyesuaian. Mesin satu silinder 399 cc selama puluhan tahun mempertahankan sistem suplai bensin dari karburator. Namun momen rebranding ke pasar Eropa tadi, sedikit menyadarkan pabrikan logo garpu tala dalam adaptasi. Sistemnya pun diubah menjadi injeksi elektronik sampai sekarang. Namun tanpa mengacak-ngacak konsep sederhana yang sudah tertanam sejak 70an. (Hlm/Raju)
Sumber: Bikedheko, Silodrome
Baca juga: Sama Seperti Jepang, Yamaha YZF-R25 MY 2021 di Malaysia Punya Warna Menarik
Model Motor Yamaha
GIIAS 2024
IMOS 2024
Tren & Pembaruan Terbaru
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
Motor Unggulan Yamaha
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Motor Yamaha Terbaru di Oto
Artikel Motor Yamaha dari Zigwheels
- Motovaganza
- Review
- Artikel Feature