Pertarungan Sport Fairing Kelas Berat: Kawasaki Ninja ZX-10R VS Yamaha R1 VS Honda CBR1000RR
Paling tidak ada tiga sport fairing kelas berat masuk resmi ke Indonesia, dibawa merek-merek Jepang. Ialah Kawasaki ZX-10R seharga Rp 492 juta alias termurah, Yamaha R1 senilai Rp 605 juta, serta paling mahal Honda CBR1000RR, Rp 623 juta – Rp 715 juta. Mereka sama-sama menjadi flagship, menggendong dapur pacu satu liter dan serangkai teknologi canggih. Lantas di antara ketiganya, siapa paling memukau?
Performa Mesin
Sebagian orang boleh jadi menyangka, yang paling murah berarti paling bontot pula dari segi performa. Nyatanya hal itu berbanding terbalik. Justru Kawasaki Ninja ZX-10R memimpin. Bahkan bisa dibilang cukup signifikan.
Amunisi racikan Geng Hijau berkubikasi 998 cc empat silinder DOHC 16 katup. Antara diameter dan langkah piston disusun overbore (76 mm x 55 mm), supaya bisa melengking di putaran atas. Rasio kompresi juga padat, 13:1, hingga menghasilkan daya 212 Hp/13.500 rpm serta torsi puncak 114,9 Nm/11.200 rpm. Besar.
Jika dibandingkan Yamaha R1 selisih lumayan. Jantung empat piston 998 cc DOHC 16 valve mengekstraksi daya 197 Hp/13.500 rpm, alias selisih 15 Hp. Sementara hitungan daya dorong sebesar 112,4 Nm/11.500rpm. Soal komposisi detail sebetulnya tak beda jauh. Pabrikan Garpu Tala memadatkan kompresi di angka 13:1. Lantas diameter bore sedikit lebih besar (79 mm) dan stroke ringkas 50,9 mm.
Honda malah jadi yang terbelakang. Lontaran daya kuda mesin 1.000 cc DOHC 16 valve berhenti di 189 Hp/13.000 rpm. Meski torsinya lebih melimpah ketimbang mereka berdua, 116 Nm/11.000 rpm. Sama seperti Kawasaki dan Yamaha, rasio kompresi 13:1 dan padanan silinder berjenis overbore murni.
Sejauh ini, pertarungan performa di atas kertas dipimpin Kawasaki. Tapi di realitas belum tentu. Perlu diterjemahkan langsung, lantaran tenaga besar bertanggung jawab atas bobot berat pula. Ninja memiliki berat 206 kg, Yamaha 199 kg, serta Honda paling ringan, 195 kg.
Perihal assist dan slipper clutch – serta perangkat quick shifter – tak perlu dikhawatirkan. Statusnya sebagai motor top of the line tentu mewajibkan mereka punya. Komponen-komponen itu menempel di girboks enam percepatan ketiganya.
Komponen Pengendalian
Kawasaki, Yamaha dan Honda memiliki racikan masing-masing soal struktur utama. Namun jenisnya masih satu benang merah, yakni menyangga mesin dari atas dan samping – alias menggantung. Beda penyebutan saja.
Perbedaan kentara justru terletak pada komponen pendukungnya (Suspensi). Bicara soal ini, Honda tampil paling optimal. Membuat harganya yang mahal mulai masuk akal, lantaran rentetan teknologi canggih berikut.
Fork upside down buatan Ohlins bukan seri sembarangan. Selain diameter tabung besar (43 mm), penyetelan dioperasikan secara elektronik. Dari mulai damping, preload, hingga rebound-nya. Begitu juga monoshock belakang. Komponen yang juga dibuat Ohlins ini sama-sama memiliki tiga aspek pengaturan, berikut dioperasikan lewat kontrol elektrik. Namun perlu digarisbawahi, hanya tersedia di varian SP seharga Rp 700 jutaan. Seri basic belum dilengkapi perangkat terkait.
Berikutnya urusan penahan laju, Honda menanamkan dua cakram 320 mm kaliper Brembo empat piston masing-masing. Dan belakangnya disc brake 220 mm. ABS dua kanal juga termasuk dalam perangkat standar. Rangkaian peranti rem ini menempel di pelek palang yang terbungkus ban 120/70 17 inci di depan serta 190/50 17 inci belakang.
Kedua paling hebat rasanya jatuh ke tangan Kawasaki. Upside down 43 mm Showa miliknya memiliki balance free front – spesifikasi yang sama dengan motor balap mereka di ajang WSBK. Pengendalian depan tentu kian optimal atas hadirnya penyeimbang ini. Lantas penopang belakang, diprakarsai shock tunggal berposisi tidur, atau biasa disebut horizontal back-link suspension. Tentu peredam depan dan belakang tadi bisa disetting damping, preload, serta rebound-nya.
Soal penjinak laju, boleh dibilang ia setingkat di atas CBR. Terpasang dua cakram lebih besar (330 mm) di depan, lengkap dengan kaliper Brembo empat piston masing-masing. Kalau di belakang ukurannya sama, 220 mm berkaliper Brembo. Anti-lock Braking System dua kanal termasuk dalam paket bawaan. Sementara ban, memiliki spesifikasi mirip, hanya saja dinding ban belakang sedikit lebih tebal.
Yamaha terbilang konvensional. Inverted fork 43 mm merek KYB tak dapat tambahan balance free front, apalagi pengendali elektronik. Pengaturan suspensi sepenuhnya manual, melalui sistem putar. Sementara di belakang, ditopang monoshock dengan ragam pengaturan.
Alih-alih memamerkan nama Brembo di kaliper, Yamaha memilih mengosongkan tulisan di penjepitnya. Entah siapa vendor penahan laju, yang pasti tetap berkualitas tinggi juga. Sebab tenaga brutal memerlukan penjinak optimal pula.
Spesifikasinya mirip. Dua cakram 310 mm menempel di depan, lantas belakangnya satu cakram 220 mm. ABS dua kanal turut jadi komponen standar di sport fairing jagoan Yamaha. Berikutnya ukuran ban, sama persis dengan milik Kawasaki.
Fitur Elektronik
Perihal fitur elektronik, Kawasaki menuangkan seluruh yang dipunya ke ZX-10R meski harganya terbilang di bawah rival. Tak pelit sama sekali. Hampir semua perangkat penunjang jalan raya dan sirkuit ada. Bak sebuah robot serba canggih – memuaskan hasrat pengendara tanpa perlu pusing menambah komponen aftermarket.
Pusatnya adalah ECU dan sistem Electronic Throttle Valves (ETV). Atas kedua benda tadi, beragam fungsi keamanan serta mode berkendara dapat beroperasi. Seperti Power Modes. Jika menekan menu terkait, karakter bukaan gas bakal semakin tajam. Kerjanya memasok bahan bakar lebih banyak ke dalam mesin, hingga translasi tenaga kian agresif. Pun jika dimatikan, ETV menjaga distribusi bensin presisi sesuai kebutuhan laju.
Ada pun Sport-Kawasaki Traction Control (S-KTRC). Sama seperti kontrol traksi pada umumnya, dibagi dalam beberapa tingkatan. Tinggal menyesuaikan keberanian rider dalam memacu motor. Jika tak kuat menahan lontaran daya liar, ada baiknya aktifkan kontrol traksi di tingkat maksimal – supaya tak kehilangan grip ban belakang saat tak sengaja menarik selongsong gas habis. Dan kalau merasa jago, perangkat ini dapat didisfungsikan.
Kala hendak berakselerasi di sirkuit, tak semua orang pintar mengatur momentum putaran mesin untuk melaju sempurna dan mencatat waktu optimal. Kawasaki menyediakan komputasi canggih bernama launch control. Secara otomatis, mesin menahan di rpm tertentu supaya bisa melaju cepat dengan grip maksimal.
Hal detail seperti engine brake control turut dipunya. Levelnya bisa disesuaikan dalam parameter angka, berfungsi saat melintas mengitari sirkuit. Utamanya saat memperhitungkan keluar masuk tikungan. Terakhir Inertial Measurement Unit, memitigasi kemungkinan motor wheelie, atau terangkat bagian belakang. Sekaligus mengoptimalisasi kinerja ABS saat menikung di sudut tertentu. Kelengkapannya memuaskan.
Sementara dashboard cenderung tampil sederhana. Bentuknya minimalis, percampuran digital-analog. Bagian layar saja masih monoton. Tapi menyoal sajian data tentu menunjang. Tak kekurangan.
Honda CBR1000RR bukannya tak punya perangkat canggih seperti ZX-10R. Ia pun telah mengadopsi sistem throttle-by-wire. Sehingga memiliki beberapa mode berkendara, serta merta kontrol traksi dalam banyak tingkatan, atau disebut Honda Selectable Traction Control (HSTC). Fitur launch control pun hadir, termasuk setingan engine brake dan Inertial Measurement Unit (IMU).
Tapi nilai jual jauh di atas Kawasaki rasanya tak membuat kami kaget ia secanggih ini. Mungkin setingan suspensi elektronik cukup mendongkrak ongkos produksi (varian SP). Dan memang mengenai pengaturan mode “power” sampai wheelie control, bisa diset dalam parameter angka mendetail. Sensai personalisasi bakal lebih terasa di CBR, apalagi dikemas dalam dashboard full TFT nan modern.
Lantas Yamaha R1, dengan harga moderat, turut dibekali komponen elektronik serupa. Slide Control System (SCS), Traction Control System (TCS), lift control, sampai launch control hadir. Begitu juga pendukung lain seperti pada CBR, kecuali kontrol suspensi elektrik.
Ya, ia ada di pertengahan. Memenuhi syarat wajib sport fairing satu liter - menunjang untuk kebutuhan sirkuit maupun jalan raya. Tapi harganya tak “se-spesial” Kawasaki, sementara perangkat bawaan tak lebih canggih dari CBR1000RR.
Desain
Preferensi selera tentu bakal berbeda. Mengukur baik buruknya desain tak dapat diukur dan disetujui semua orang. Tapi kalau boleh menilai, rasanya wujud R1 paling menarik perhatian kami. Bentuknya benar-benar seperti motor balap. Tegas, intimidatif, serta terasa eksklusif – sebab tak mirip jajaran YZF di bawahnya.
Tanpa perlu berlama-lama memperhatikan, R1 langsung memikat. Coba tengok wajahnya. Yamaha tak banyak memberi basa-basi tekukan tajam di fairing, bahkan cenderung membulat. Tapi secara bersamaan memancar karakter bengis.
Sebabnya adalah komposisi lampu utama. Yamaha berusaha menyembunyikan dua proyektor bulat di sisi lubang angin, sekaligus memberi aksen DRL sipit di atasnya. Seakan-akan ia murni motor kompetisi trondol tanpa pencahayaan. Padahal sorot cahaya berfungsi optimal di jalan raya. Jenius.
Padanan panel bodi dan tangki juga tak kalah keren. Peletakkan dan perpaduan warna begitu proporsional, mudah disukai. Di Tanah Air, ia tersedia dalam tema Race Blue (Biru-putih) serta Race Red (Merah-putih).
CBR bisa dikatakan ada di urutan dua menurut kami. Meski tampak banyak kemiripan dengan varian 500 dan 650, 1000RR masih terlihat karismatik. Penegasan alur bodi serba kotak dan dimensi besar menjadi daya Tarik tersendiri. Apalagi jika dikemas dalam tema Honda Three Color (Varian SP).
Ninja sebetulnya tak mirip siapa-siapa. Desain ZX-10R terbilang eksklusif, memiliki identitas tersendiri. Tapi mungkin sebagian dari Anda setuju, untuk ukuran motor 1000 cc rasanya ia kurang intimidatif. Terlalu lembut.
Simpulan
Tak dipungkiri, selisih harga Kawasaki Ninja ZX-10R yang mencapai Rp 100 juta – Rp 200 juta lebih murah dari rival begitu menggugah. Pasalnya, secara bersamaan performa dan bekalan teknologinya jempolan. Malah di beberapa aspek memimpin. Bagi mereka yang menginginkan sport fairing monster tanpa mengocek kantong dalam-dalam, ZX jadi jawaban paling tepat.
Namun bagaimana jika nominal bukan jadi masalah? Tanpa pikir panjang, kami memilih CBR1000RR SP. Meski performa mesin ada di bawah kedua motor, tapi kecanggihan perangkat elektronik tak ada yang mengalahkan. Bakal jadi sensasi tersendiri menunggangi flagship Honda, apalagi di sirkuit.
Baru setelah itu Yamaha R1. Keadaan serba moderat ini jadi seperti tak punya sikap. Meski sebetulnya rangkaian performa, fitur, sampai komponen pengendalian bagus-bagus saja. Namun satu hal yang rasanya sulit dihindari: Bentuknya terlalu menggoda untuk tak dimiliki. (Hlm/Tom)
Baca juga: Tak Terlampau Mahal, Lima Naked Bike Ekstra Besar Ini Bisa Ditebus dengan Budget Rp 200 jutaan
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Motor Terbaru di Oto
Artikel Motor dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature