Perjalanan Skuter Matic di Indonesia: Dari Keraguan Sampai Jadi Amunisi Harian
Spesies skuter bukan barang baru di Tanah Air. Sudah eksis puluhan tahun ke belakang, malah tak lama sejak masa kemerdekaan. Tapi kalau bicara skuter matic, baru melonjak ketika masuk era milenium. Belum begitu lama. Bahkan saat pertama hadir justru dipertanyakan, hingga akhirnya kini jadi mayoritas amunisi harian. Dan inilah perjalanannya dari masa ke masa, dimulai oleh jenama Italia.
Vespa Memperkenalkan Lewat Corsa
Pemrakarsa di sini adalah Piaggio, saat berada di bawah naungan PT Dan Motor. Pada awal 90an, mereka membawa Vespa Corsa dan menjadi pemain kuat. Atau bisa dibilang satu-satunya. Karena jika pun ada, pesaingnya merupakan skutik impor. Bukan bawaan resmi merek terkenal.
Corsa sendiri masuk dalam kategori small frame, turunan dari PK series. Skuter matic yang telah mengaspal sejak 1983 di belahan Eropa. Namun di Indonesia namanya sudah menjadi Corsa, karena masuk pada 1991.
Awalnya, ia diimpor utuh dari Italia. Namun mengingat Dan Motor punya fasilitas produksi, akhirnya mulai 1994, Corsa dibuat oleh tangan anak bangsa. Umurnya cukup panjang, sampai 2006. Cukup menjadi favorit di kalangan pecinta Vespa.
Kala itu teknologinya unik. Guna meminimalisir motor melompat, tuas transmisi pada handle kiri dilengkapi gigi netral. Jadi tak seperti matic umum. Perlu memindahkan gear dulu supaya CVT terhubung dan bisa jalan.
Sementara sektor jantung pacu, tentu mengandalkan tipe dua langkah kebanggaan mereka. Berkubikasi bersih 121 cc dengan ukuran bore dan stroke 55 x 51 mm. Hampir square engine, supaya tenaga bisa keluar di putaran merata. Alhasil catatan daya kudanya sebesar 6,87 Hp/5.600 rpm.
Meski mengusung teknologi 2-tak, kemasan Corsa cukup modern. Bentuknya kompak dengan banyak garis-garis trapesium di bodi. Ala interpretasi desain awal era komputerisasi. Namun secara bersamaan kesan klasik tak hilang. Gurat bodi masih terjemahan lama, serta memakai lampu bulat dan menggendong ban serep, tersembunyi di panel kiri. Unik.
Penjualannya bagus? Boleh dibilang begitu, mengingat usia produksi panjang. Menjadikan skuter populer? Belum tentu. Konsumen Vespa saja masih banyak memilih transmisi manual yang sudah terbukti kemampuannya. Stigma spare part mahal, takut tak mampu menanjak dan lain-lain membelenggu persepsi orang. Wajar, teknologinya tak umum.
Apalagi pengguna motor bebek Jepang. Mungkin hanya sekian persen yang tergoda membeli Corsa untuk tunggangan harian. Belum lagi masih memakai dapur pacu 2-tak. Pada masa-masa ini, ia hanya sekadar alternatif. Bukan dijadikan solusi kepraktisan berkendara.
Kymco Mencoba Peruntungan
Bukan pabrikan Jepang, justru Kymco, jenama dari Taiwan melihat sebuah peluang. Memasuki era milenium, mereka membawa sebuah skuter matic dengan tampilan di luar kebiasaan: Berpostur bongsor, memakai ban kecil, serta memiliki ruang kaki luas. Sayangnya, semua tak berjalan mulus.
Adalah Jetmatic Trend. Saat itu unitnya diimpor utuh dari negara asal. Yang tentu menganut desain khas Taiwan. Bisa dibilang seleranya berbeda dengan di Indonesia. Segelintir orang saja yang suka. Interpretasi terhadap motor harian masih harus serba ramping, gesit, layaknya moped yang jadi raja jalanan.
Karena itu mungkin responsnya tak terlalu baik. Belum lagi bukan buatan Jepang. Kita tahu, perkembangan industri otomotif Asia selain Negara Sakura era 2000 awal, belum pesat seperti sekarang. Hal soal keraguan durabilitas dan gengsi boleh jadi menjadi alasan sedikit peminat.
Padahal, Trend termasuk produk yang bagus. Malah bisa dibilang underrated. Coba saja tengok dapur pacunya. Satu silinder 125 cc SOHC termasuk besar kala itu. Ekstraksi daya mencapai 9,4 Hp dan torsi 9,8 Nm. Cukup.
Kenyamanan? Tak diragukan lagi. Suspensinya terkenal empuk. Ditambah jok lebar dan tebal. Apalagi, ruang kaki luas, bahkan bisa selonjor ala Yamaha NMax dan Honda PCX hari ini. Plus, bagasi begitu luas. Rasanya sudah memenuhi kriteria alat komutasi praktis. Secara produk, mestinya ia bisa merebut tahta bebek.
Nyatanya tidak. Bahkan sampai mengeluarkan produk lain seperti Free LX serta Metica, dua skuter yang menjiplak gaya Eropa. Tak bisa dibilang sukses. Dan pada 2009, jadi titik terakhir mereka berniaga di Tanah Air. Meski akhirnya kembali beberapa tahun lalu.
Merek Italia belum mampu membuat skutik jadi kultur populer. Begitu juga produk inovasi dari Taiwan. Namun tangan dingin Industri Jepang berbicara lain. Berbekal pengalaman panjang di Tanah Air, akurasi riset, hingga kesiapan fasilitas produksi, membuat jenis ini mendulang sukses besar.
Popularitas Naik Drastis Berkat Yamaha Nouvo
Bicara otomotif, Jepang sudah lebih dulu tau perilaku konsumen Indonesia. Meski Kymco berstatus sebagai penggagas skutik empat tak, nyatanya belum banyak berdampak. Sekadar dimuat dalam sejarah. Yamaha kemudian mengeksekusi konsep ini jauh lebih sempurna. Masuk 2002, mereka memasarkan Nouvo, cikal-bakal skutik kompak hari ini.
Tak lama sebelum itu, mereka sebetulnya sempat menguji pasar dengan Majesty dan Glide. Namun bentuknya tak beda jauh dari Jetmatic. Belum lagi diimpor utuh dari Jepang. Harganya cukup mahal. Tapi memang bukan menjadi agenda utama. Sepertinya Yamaha meriset respons, sembari mengelaborasikan konsep bebek, dengan mekanisme gigi otomatis. Sederhana namun relevan dengan demand bukan?
Wajar Nouvo meledak di pasaran. Perlahan pengguna bebek pun berpindah hati. Memilih sosok yang lebih inovatif. Baru kali ini skutik menjadi sesuatu yang dielu-elukan. Sampai-sampai, stiker bertuliskan “masih jaman oper gigi” pada spakbor belakang sempat ramai. Seakan menjadi kebanggan, sekaligus mengolok yang masih pakai teknologi lawas.
Mesin 113 cc SOHC empat tak juga dinilai cukup mengakomodir kebutuhan performa harian. Dalam catatan angka, tenaga sebesar 8,7 Hp keluar di 8.000 rpm dan torsi puncak 7,84 Nm pada 7.000 rpm. Meski tak sekencang Jetmatic, kemudahan soal jaringan after sales dan kepercayaan pada kualitas produk Jepang sudah cukup memuaskan keinginan pasar.
Usai itu, Yamaha kembali merilis motor baru. Mio, lahir setahun setelah Nouvo sukses. Kali ini segmentasinya berbeda. Ia ditempatkan sebagai skutik pemula, utamanya kaum hawa yang baru bisa naik motor. Ringan, kecil, sekaligus murah. Dan lagi-lagi, mereka tepat sasaran.
Memasuki 2004, Mio bisa dibilang jadi penguasa jalanan. Bukan hanya wanita yang pakai. Kaum adam ikut terpikat memiliki sosok mungil lucu ini. Seiring bergulirnya waktu, malah Nouvo kalah pamor. Sampai-sampai diberhentikan produksinya di seri Z. Sementara Mio tetap eksis sampai sekarang.
Soal mesin yang dipakai mirip seperti si “Lele”. Menggendong model satu silinder 113 cc SOHC karburator. Output juga kurang lebih sama. Hanya kemasan dan kapasitas tampung bensin saja dibedakan.
Bombardir Produk Serupa Dari Jepang
Pergeseran budaya pasar tentu menyita perhatian merek lain. Sebelum terlambat, Honda cekatan merilis Vario pada 2006. Kala itu desainnya cukup revolusioner. Tampak selangkah lebih futuristis. Ketimbang menganut desain tubuh serba bulat, mereka mengemas bodi dengan banyak tekukan kotak.
Lampu split juga jadi sesuatu yang baru diterjemahkan pada skutik. Hingga kini komposisi semacam itu bahkan masih diadopsi. Tak terkecuali pada merek lain.
Spesifikasi dapur pacu dibuat menyerupai kompetitor. Berkubikasi bersih 108 cc SOHC dengan tenaga 8,86 Hp/ 8.000 rpm dan torsi 8,4 Nm/ 6.500 rpm. Yang membuat dirinya spesial, manajemen suhu mesin lebih sempurna, berkat dibantu radiator.
Di waktu bersamaan, Suzuki tak mau ketinggalan. Spin dirilis tepat beberapa minggu setelah Vario mengaspal. Guratnya bisa dibilang senada dengan Mio generasi pertama: Membulat dan kompak. Tapi satu yang menjadi karakter tersendiri, mesinnya besar!
Ya, saat teman-temannya menggunakan mesin 110 cc dan 115 cc, Suzuki sengaja memberi diferensiasi produk - supaya konsumen jelas melihat kelebihannya. Spin dijejali mesin 125 cc SOHC bertenaga 9,5 Hp/ 7.500 rpm dan torsi 9,5 Nm/ 6.500 rpm. Terbilang besar di masanya. Meski ternyata tak direspons sebaik dua kompetitor sebelah.
Pasca kemunculan skutik tadi, motor sejenis makin menjamur. Honda mengeluarkan Beat, Suzuki membawa Skywave, serta Yamaha melengkapi line-up Mio yang lebih besar dan seterusnya hingga sekarang. Karena itulah, ada sosok yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat.
Menjadi Jenis Paling Populer, Mematikan Kejayaan Bebek
Skutik menjawab kebutuhan komutasi masyarakat dengan sempurna. Selain praktis dikendarai, rata-rata memiliki ruang akomodasi luas, sekaligus rancangan dek rata - mudah membawa banyak barang. Meskipun pada awalnya tak lebih hemat dari bahan bakar bebek, perlahan teknologi pun beradaptasi, sampai bisa menyetarai.
Moped mulai ditinggalkan. Paling tidak sejak satu dekade silam, pergeseran selera ini tampak nyata di jalanan. Sebaliknya, hanya segelintir orang yang mau beli bebek. Walaupun pabrikan mulai berusaha menyematkan teknologi injeksi dan memugar bentuk lebih modern.
Bahkan, Yamaha dan Honda pernah sepakat mengelaborasikan konsep bebek dan matic mentah-mentah. Berupaya agar jenis ini tak mati. Mungkin Anda masih ingat, sosok Revo AT dan Lexam? Dua motor itu sempat menyita perhatian karena inovasi yang tak lumrah. Namun sekadar perhatian bukan berarti laris. Tak lama, mereka kembali disuntik mati. Dan jadi motor langka hingga saat ini (karena tak banyak peminat).
Memasuki Era Post-Skutik Kompak
Meski sampai hari ini skutik kompak masih menjadi raja, tapi sedikit demi sedikit selera pasar variatif. Industri terus berdialektika. Dimensi ringkas tidak melulu jadi nilai jual menarik. Baik di kelas skutik pemula maupun menengah.
Contohnya Nmax, yang digagas Yamaha. Awal 2015 tampaknya menjadi titik gairah baru motor matic. Tampilan bongsor, ruang akomodasi luas, beroda kecil, serta dikemas lebih premium. Betul, sudah ada Honda PCX sejak 2012. Namun motor CBU Thailand itu kurang menarik minat, harganya terlampau mahal. Yamaha lebih dulu inisiatif memproduksi lokal. Dan berhasil mengkalkulasi nilai jual yang pas, hingga menjaring banyak konsumen sampai sekarang.
Ia menjadi sesuatu yang baru. Menjawab keinginan pengguna skuter 150 cc yang ingin naik kelas. Atau bahkan menyita minat mereka yang sebelumnya memilih roda empat, karena merasa tak ada pilihan skutik dengan kesan premium.
Dan kesuksesan Maxi Scooter tentu diikuti teman sebaya, Honda PCX. Akhirnya ia diproduksi lokal, meramaikan segmen sejenis, dengan nilai jual hampir sama. Apa yang mereka punya pun bisa dibilang tak beda jauh. Tinggal sesuaikan selera saja suka yang mana.
Sementara di kelas pemula, cikal bakal bercabangnya selera bisa dilihat dari kehadiran Scoopy. Utamanya model 2018. Saat mereka bersolek dengan roda kecil, serta tampilan retro. Bodi gemuk dan serba bulat ternyata memikat juga. Tak melulu harus kecil dan serba lancip. Sesuatu yang tak disangka jika mengingat era Jetmatic. Begitu dinamis bukan?
Lantas Vespa, sang penggagas skuter matic di Indonesia, mereka tampaknya mantap menempatkan diri. Jika dulu dianggap sesuatu yang ekonomis, kini mereka berdiri di segmen gaya hidup. Ya, semua skuter buatannya dibuat gaya lawas dan tentu serba elegan. Fitur bukan nilai jual utama. Melainkan sisi emosional dan historis. Dan perlu diakui, namanya cukup sukses bermain di kategori ini. Ketimbang kompetitor sepantarnya. (Hlm/Tom)
Baca juga: Minat Skutik Mewah dengan Harga Ratusan Juta? Ini 4 Pilihannya
GIIAS 2024
IMOS 2024
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Motor Terbaru di Oto
Artikel Motor dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature